Daisypath Anniversary tickers

05 March 2012

Aku, Kamu = Kami

Perkenalkan :

Mifta, 24 tahun.
Gadis dengan pergaulan seluas logo Moklet saja.
Lahir di Ngawi.
5 tahun di Bojonegoro.
11 tahun di Ngawi
3 tahun di Malang.
5 tahun kuliah dan kerja di Jakarta.

Heru, 29 tahun.
Lahir di Jakarta.
26 tahun dihabiskan di Jakarta.
Kemudian tertiup entah angin apa sampai memindahkannya ke Pulau Batam sejak 3 tahun yang lalu.

Lalu bagaimana kami bisa bertemu dan saling mengenal?

Pekerjaan.
Kami memang tidak berasal dari instansi yang sama.
Singkatnya kami memang terlibat pada suatu project yang sama.
Pernah bertemu.
Pernah berkomunikasi.
Untuk sebuah kepentingan pekerjaan.

Kedekatan kami dimulai dari sebuah obrolan santai.
Lalu dibuktikan dengan niatan yang baik lewat sebuah tindakan nyata untuk mewujudkannya.
Dan pada akhirnya kami menjalaninya dengan penuh kerelaan.
Sekalipun beberapa hambatan pasti datang silih berganti.
Untuk mencapai sebuah ikatan suci pernikahan memang tidak bisa dalam hitungan bulan.
Kami menunggu, kapan waktu itu tiba untuk kami.
Dengan ridho dan restu dari orang-orang di sekeliling kami.
Sembari menyelesaikan kewajiban kami masing-masing.
Toh tak menyurutkan niatan awal kami.
Untuk sebuah tujuan mulia, sudah seharusnya ditempuh dan ditempa dengan cara istimewa.
Pastinya untuk sebuah perjalanan luar biasa :)

02 March 2012

Manusia Ambigu

Aku percaya, bahwa tidak semua rasa harus diungkapkan.
Apapun akibatnya, sebuah rasa yg tak terungkap, punya alasan tersediri.
Ada banyak pertimbangan untuk diam.
Aku memang bukan pribadi yg mudah mengungkap rasa.
Aku diam, menyimpan kebimbangan dalam hati antara iya dan tidak.
Menimbulkan keambiguan pastinya.
Aku diam, mengikuti alur sebagai pembelajaran buatku.
Jika memang ketidakmauanku yg terpendam adalah salah.
Dan menjadi pembelajaran bagimu, jika keyakinanku akan kebenaran yg tak kutunjukkan memang demikian adanya.

Aku belajar itu...
Diam...
Seolah mengambil keputusan dalam keambiguan.

Jika ini salah, silakan katakan salah. Jangan melarangku. Karena ini yang kupelajari dan tertanam pada diriku.
Katakan saja aku egois.
Sebenarnyapun keegoisan ini untuk kemenanganmu yang tak pernah kusesali walau bagaimanapun sesuatu terjadi padaku.

Aku bukan tak memberi tanda dalam kebimbanganku.
Aku memberikannya.
Itupun jika kamu menyadarinya.
Sebuah perdebatan kecil.
Maka perhatikanlah itu.

Dari semua itu, aku menyukai mengambil keputusanku sendiri untuk aku.
Lalu aku diam tak bersuara, karena aku risih mendengarnya.
Baik buruk yang kuterima itulah kerelaanku untuk keputusan yang telah terketok palunya olehku.
Tapi untuk kita, tidak demikian adanya.
Aku menjadi lamban.
Seolah kepentinganmu menjadi utama bagiku.
Saat seketika aku mengambil keputusan singkat, sejurus kemudian aku mengingatmu.
Aku lupa mempertimbangkanmu dalam keputusanku.
Lalu aku ragu.
Berubah pikiran, lalu lagi dan lagi.
Kebingungan muncul, manakah yg terbaik untukmu?
Sent from BlackBerry® on 3