Daisypath Anniversary tickers

14 December 2011

Kisah Sang Trotoar

Sebenarnya ini bukan kali pertama ketika sedang melenggang kangkung menikmati kaki menapak di trotoar lau tiba-tiba ada mesin yang menyembul begitu saja. Dari depan, belakang maupun samping.
Tentu saja itu adalah mesin motor.
Tentu saja ini terjadi di Ibu Kota, Jakarta.

Seperti pagi ini, sesaat setelah berhasil menyeberangi Jalan Wahid Hasyim depan Lotus, Djakarta Theater dan menapakkan kaki beberapa langkah tiba-tiba ada motor matic mio menyembul begitu saja dari arah belakang samping kiri. Si pengendara memberikan klakson manual dengan suaranya sendiri. Oh...aku sedikit minggir ke kanan. Sejenak merasa bersalah karena tak hati-hati berjalan, lalu aku ingat. Aku kan berjalan pada jalur dan lajur yang memang dikhususkan buat saya, pejalan kaki, bukan jalur untuk kendaraan. Astaghfirullah....marah sekali rasanya.

Kejadian macam ini akan terus dan akan tetap terjadi selama kesadaran masyarakat kita tidak lebih baik. Seharusnya ada edukasi, pembelajaran dari instansi terkait dan terlebih lagi seharusnya adalah kesadaran dari masing-masing individu untuk menyadari pentingnya menaati peraturan yang sudah ada.

Dengan alasan macet, trotoarpun raib menjadi jalur motor. Lalu bagi orang-orang seperti aku, di bagian mana kami bisa melangkah dengan aman dan nyaman?
Teringat kejadian di depan Poda Metro Jaya, ketika terowongan semanggi macet karena terjadi penumpukan kendaraan, seperti biasa para pengendara motor main sikat saja trotoar. Sampai akhirnya seorang polisi yang semula ada di sparator jalur cepat pindah ke trotoar depan Polda, kemudian menoleh ke arah kendaraan  bermula. Santai saja, hanya geleng-geleng kepada sembari sesekali menunjuk para pengendara motor. Sebuah cara sederhana mengusir mereka dari trotoar, agar berada pada jalur yang seharusnya.
Ini potret Jakarta. Berdampingan dengannya setiap harinya.

Trotoar itu lapak buat dagang dan parkiran.
Lihat saja, di trotoar samping Kantor Departemen Pertanahan yang berada di belakang Gedung Sarinah. Kala siang separuh badan trotoar jadi lahan parkir. Dan saat Jakarta gelap tanpa sinar mentari, separuh lebih dari badan trotoar menjadi lapak jualan berbagai kuliner.
Sama seperti di Jalan Jaksa. Sepanjang jalan, separuh badan jalan jadi lahan parkir berbayar. Sedangkan trotoarnya disulap jadi warung tenda. Dan aku punya langganan warung pecel ayam :D

Trotoar depan Bank UOB di Jalan Wahid Hasyim telah disulap menjadi lahan parkir motor resmi bank tersebut. Coba saja lewat. Hanya disisakan  space untuk 1 orang lewat diantara motor yang berjejer. Dan menurut saya itu juga bukan ditujukan buat pejelan kaki tetapi cenderung menjadi space untuk keluar masuk motor. Memang sejak ada bank ini, pernah di gang sekitar situ pernah menjadi lahan parkir tetapi tidak berlangsung lama.

Ceritaku dari tadi memang hanya seputar daerah Sarinah - Kebon Sirih, karena memang kebetulan tinggal sementara disitu.
Seperti lingkaran menyesatkan.
Sepanjang Jalan Agus Salim / Sabang, jangan pernah berharap lancar. Lahan parkir yang tersedia di kanan kiri jalan memang masalah utama.
Ketika belok kanan ke Jalan Kebon Sirih, akan disambut dengan penyempitan jalan karena separuhnya dipakai lahan parkir, nasi goreng kambing kebon sirih di sore dan malam hari. Di trotoar sepanjang jalan ini, sudah menjadi pemandangan biasa kalau ada motor melaju dengan tenangnya, baik yang searah maupun melawan arah.
Belok lagi ke kanan, masuk Jalan Jaksa, akan menyempit lg karena separuh jalannya juga dipakai lahan parkir. Dan pejalan kaki harus merelakan trotoar untuk lapan pedagang.
Belok ke kanan lagi, Jalan Wahid Hasyim akan menemui masalah yang sama, ditambah perempatan yang sesak tanpa celah.

Okay, pastinya bukan aku saja yang mengeluhkan ini. Banyak orang dan warga Jakarta yang mengeluhkan tentang fungsi trotoar dan jalan. Selamat menikmati warna-warni Jakarta.

No comments: