Daisypath Anniversary tickers

28 January 2012

Ibu

Sosok wanita terkuat dan terlemah yang aku kenal. Lemah karena semua kelembutannya namun kuat karena keteguhan hatinya.
Paling gak bisa liat wajah ibu yang sedih.
Karena itu aku harus lebih tegar daripada ibu. Saat ibu menangis, aku harus tersenyum menguatkan hatinya bahwa semua akan baik-baik saja. Saat ibu tak berdaya aku tak boleh sama-sama terlena, aku yang bisa menjadi tempatnya mencurahkan apa yang beliau rasa, dan aku harus berusaha mencari jalan keluar dengan segala usaha yang mampu aku upayakan.
Memang aku bukan anak semata wayangnya, namun aku menyadari posisiku. Saat semua bagai tak masuk akal untuk ibu, kepadaku ibu pernah berujar tentang apa yang dirasanya. Dan dari apa yang disampaikan ibu, beliau ingin aku mempu mengertinya, memahaminya dan mendukungnya. Dan sejak itulah aku punya pandangan berbeda untuk ibu. Betapa wanita yang tampak kuat dan selalu tegas di depanku ini punya sisi yang rapuh.
Cukup bagiku terus menangis di hadapan ibu saat mengadu karena aku punya mas yang nakal. Aku bukan gadis kecilnya yang cengeng.

Di rumah, diantara sosok-sosok yang dominan dan keras kepala, beliau tetap kalem dan selalu saja mengalah. Bapak adalah sosok yang tak bisa terbantahkan apapun yang dikatakan dan dilakukan, otoriter sekali. Dan dengan kalemnya, pimikiran sederhana ibu mampu menyeimbangkan suasana tentram di rumah. Aku, sang kloningan bapak dalam wujud perempuan, selalu dan pasti memiliki sesi eyel-eyelan sama bapak. Dan saat semua berujung pada sebuah perdebatan tak berujung, ibu selalu mengkode kepadaku untuk mengalah. Dan biasanya aku diam lalu pergi begitu saja dengan segala kegondokan pada ibu dan bapak. Jika aku masih bertahan dalam perdebatan sengit dengan bapak, ibu akan memanggilku dan pura-pura memintaku melakukan sesuatu. Dan sambil aku mengerjakan apa yang diperintahkan ibu, akan ada kalimat panjang lebar dari ibu. Ya... itu nasihat ibu kepadaku untuk mengalah. Bukan karena kalah tapi ada saatnya kita harus menjaga ketenangan yang ada. Terus-menerus berdebat tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan berakhir pada pertengkaran. Aku si keras kepala, akan selalu berdebat dengan bapak dan mas Arda. Dan bagi ibu, tetap akulah yang harus selalu mengalah. Karena aku wanita, karena aku yang termuda.

Jika bapak yang memolesku untuk mempunyai nilai lebih dari apa yang aku bisa, maka sebenarnya ibu lah yang mengajariku melakukan semuanya.
Aku bisa berbicara karena ibu yang mengajari, tak mungkin bapak karena beliau lebih sibuk di luar kota. Tapi memang bapak lah yang mengajariku untuk bisa mengucapkan kalimat-kalimat sulit yang aku masih belum bisa ucapkan dengan jelas.
Oh iya, bisa naik sepeda adalah step yang dilewatkan bapak. Karena ibu lah yang mengajariku.
Bisa baca tulis Al Qur'an juga step yang dilewatkan bapak, lagi-lagi ibu lah yang mengajariku bertahun-tahun, termasuk sholat dan bacaannya.
Jika bapak yang mengharuskanku agar menulis rapi, beberapa mili diatas garis dan harus lurus dan sempurna di setiap pemenggalan kata-kata tetapi sebelumnya aku bisa menulis itu karena ibu yang mengajari. Ibu yang menungguiku menulis sesuai dengan poster huruf-huruf yang ada sambil mencuci baju.


Ibu bukan wanita yang gemar berdandan. Ibu sangat sederhana. Karena itu aku juga tak bisa berdandan. Ibu hanya mengajariku bagaimana menempatkan diri sebaik mungkin. Bisa menggunakan pagian yang layak dan rapi sesuai suasana. Ajining raga saka busana.

Ibu pintar memasak tapi tan pernah memaksaku untuk memasak. Ibu hanya memintaku untuk membantunya memasak. Tapi jika melihatku tampak lelah dengan semua kegiatanku, ibu tak pernah memintaku untuk masuk ke dapur. Ibu hanya akan memanggilku setelah semua terhidang di meja.


Ibu juga tak pernah memaksaku harus membereskan rumah kecuali aku memang punya waktu luang.

Jika aku melakukan semua itu, pada akhirnya karena kesadaranku sendiri. Saat aku semakin dewasa, ada rasa malu yang muncul ketika hanya duduk-duduk santai, sementara ibu yang mulai menua sibuk dengan semua kegiatan mengurus rumah.

Dan lagi-lagi... aku menyadari bahwa wanita itu...kini tak seperti dulu lagi.
Buatku dulu ibu itu galak. Serius banget juteknya.
Dan itu semua ternyata turun kepadaku. Sama-sama juteknya. Hahahaha...
Dan galaknya ibu gak ada seujung kukunya bapak.
Ibu itu gak akan melakukan kekerasan fisik pada anaknya. Ibu hanya akan ngandani, ngasih wejangan. Mengembalikan semua akar permasalahan ke kami dan membiarkan kami mencerna semuanya dan sadar akan kesalahan kami.
Jika anak-anaknya semakin menjadi-jadi, beliau pasti akan menangis. Dan mengadu tengah malam lewat do'a-do'anya. Aku tahu, karena aku sering mendapatinya terisak-isak tengah malam.


Lewat do'a-do'anya lah, dia mengungkapkan kerapuhannya, harapannya dan kekuatannya. Rasa terima kasih yang tiada terkira untuk beliau yang selalu sabar membimbingku sampai sejauh ini. Mengajariku segalanya.
Aku sadar betul, aku bisa bicara, berjalan, membaca, menulis, belajar agama, bersikap layaknya anak perempuan semuanya dari ibu. Belajar tentang kesabaran. keteguhan, kesetiaan, cinta semuanya dari contoh nyata yang beliau lakukan di setiap harinya. Terlebih lagi, ibu yang selalu membuatku belajar legowo di setiap step yang tak mampu aku capai dengan hasil gemilang. Ibu yang menguatkan aku, bahwa ada selalu ada jalan dan rencana dari Allah, lebih baik dari apa yang aku harapkan.


Aku akan terus belajar dari beliau. Beliau adalah ibuku dan memang seorang guru, tapi untukku akan lebih dari itu. Ada banyak ilmu yang tak didapatkan murid-muridnya dari beliau. Ada banyak kasih sayang yang beliau berikan dari sekedar orang tua.
Ada banyak hal yang beliau bisa lakukan, bahkan menggantikan peran bapak di saat yang mengharuskan beliau melakukan itu. Dari beliau juga aku belajar untuk tak terus-menerus manja.



Ibu...aku akan terus merindukanmu...
Ibu...kau tetaplah panutanku...
Ibu...akankah aku bisa menjadi sepertimu?
Ibu...Ibu...Ibu...

No comments: